Angkie, Minimnya
Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas
Oleh: Melda Imanuela
“Bermimpilah setinggi langit dan
jangan pernah lelah untuk terus berjuang dalam hidup ini. Keterbatasan bukan
penghalang untuk bisa terus berkarya dan menjadi orang sukses”, ujar Angki
Yudistia.
Angkie Yudistia merupakan salah satu
perempuan tuna rungu yang menginspirasi karena berani melangkah dalam
“ketidakmampuannya” untuk meraih mimpi serta harapannya. Perempuan difabel itu
bermimpi bisa terus berkarya dan menjadi orang sukses walau memiliki
keterbatasan.
Meski tunarungu, tak ada hambatan
bagi Angkie untuk berkomunikasi dengan siapa saja. Angkie kehilangan
pendengaran setelah bisa bicara. Saat berusia 10 tahun, pendengaran Angkie
secara perlahan berkurang. Dia tidak lagi dapat merespons saat dipanggil dan
kesulitan mendengar penjelasan guru di sekolah.
“Saya tidak tahu pasti penyebabnya.
Apakah dari obat yang saya minum ketika sakit atau ada hal lain yang jadi
penyebabnya,” ujar Angkie yang harus menggunakan alat bantu dengar sekaligus
membaca gerak bibir untuk memahami pembicaraan lawan bicaranya.
Vonis tuna rungu dari dokter menjadi
pukulan bagi Angkie, juga keluarganya. Terlebih lagi ibunya. “ Aku pernah ingin
mencoba untuk bunuh diri karena merasa hidup ini telah berakhir tetapi aku teringat akan ayah dan ibuku. Aku
tahu mereka sedih meski tak pernah ia perlihatkan di depanku, sehingga keluargalah
yang membuat mental saya lebih tangguh”,
ujar Angkie.
Angkie tidak diperlakukan berbeda
oleh orangtuanya. Setidaknya untuk pilihan sekolah, Angkie menyelesaikan SD
sampai SMA di sekolah umum. Pada masa-masa sekolah inilah Angkie mulai
merasakan tantangan sebagai anak yang “berbeda”. Ledekan dari teman-teman bukan
hal yang asing baginya. Belum lagi saat kena marah guru karena dia kesulitan
mendengar. Ibunya mengajarkan Angkie untuk bisa mandiri dalam segala hal.
Sewaktu sekolah, dia selalu naik kereta api dan sering terlambat datang ke
sekolah dan ketinggalan kereta api karena tidak mendengar pemberitahuan dari
asisten masinis. Namun, itu tidak membuatnya menjadi frustasi. Angkie malah
terpacu untuk mencari solusi agar tidak lagi terlambat. Keluarga besarnya baik
dari pihak bapak dan ibu Angkie berbaik hati dan tidak memandang Angkie sebuah
aib. Mereka berusaha untuk tidak mengucilkan hati Angkie.
Angkie
saat lulus SMA melanjutkan ke Perguruan Tinggi, tantangan membuatnya terus
ingin membuktikan bahwa dia mampu. Maka mendaftarlah Angkie di Jurusan
Periklanan London School of Public Relations (LSPR), Jakarta. Dia lulus dengan
indeks prestasi komulatif (IPK) 3,5 lewat program akselerasi. Angkie kemudian
melanjutkan program master (S2) di bidang komunikasi pemasaran.
Angkie
paham, ia tidak bisa mengerem mulut orang untuk melontarkan perkataan yang
menyakiti. Kesadaran ini menjadi bekalnya untuk menghadapi hari-hari yang
sulit. Kalau ada ocehan yang tak berkenan di hatinya, Angkie membalasnya dengan
baik. Pada usia remajanya, ia menganggap gangguan pendengaran sebagai bagian
dari hidupnya. Satu per satu kelebihannya muncul dan membuat orang tak lagi
terfokus pada kelemahannya. Di usia 21 tahun, perempuan yang amat tertolong
dengan alat bantu dengar ini berhasil menjadi finalis None Jakarta mewakili
wilayah Jakarta Barat. Pada tahun yang sama, dia juga terpilih sebagai The Most
Fearless Female Cosmopolitan 2008, serta Miss Congenially dari Natur-e, dan
prestasi lainnya.
Angkie
merasa sedih mengetahui masih banyak difabel yang belum bisa mengakses dunia
luar. Beberapa diantaranya terisolir karena orang tua mereka masih menganggap
anak difabel sebagai aib keluarga. Delegasi Indonesia di ajang Asia Pasific
Center of Disability (Thailand) dan International Young Hard of Hearing (Paris,
Perancis) ini mencoba membukakan pintu bagi mereka dengan meluncurkan
biografinya di tahun 2011.
Buku
Invaluable Experience to Pursue Dreams (Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas)
memuat pengalaman Angkie menapaki pasang surut kehidupannya sebagai tuna rungu .
Angkie
yang lahir pada tanggal 5 Juni 1987, pemilik tinggi 170 cm dan berat 53 kg itu
pernah pula bekerja sebagai humas di beberapa perusahan misalnya bekerja di
bagian marketing Communication IBM Indonesia dan Corporate Public Relation PT
Geo Link Nusantara. “Saat melamar pekerjaan, saya mengalami puluhan kali
penolakan karena penyandang tuna rungu. Alasannya tidak bisa menerima telepon”,
ujarnya.
“Padahal,
orang difabel mempunyai hak yang sama dengan yang fisiknya normal. Mereka juga
sudah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tetap saja dianggap tak mampu apa-apa.
Ditambah lagi kualifikasi perusahaan yang tidak berdasarkan pada latar belakang
kemampuan penyandang disabilitas yang ada di Indonesia”, ujar Angkie.
“Pemberlakuan
pemerintah terhadap kuota 1% bagi pekerja disabilitas di setiap perusahaan
belum maksimal dan cenderung minim”, ujar Angkie.
Undang-Undang No. 4/1997 mengenai Penyandang Disabilitas, dan
peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No.43/1998 (Upaya untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas) dan Keputusan
Menteri Ketenagakerjaan & Transmigrasi No.205/1995 merupakan payung hukum
legal yang mengharuskan semua instansi untuk inklusif dalam penyelenggaraan
kesempatan kerja. Pasal 28 menjelaskan bahwa ada sanksi (sekitar USD
20,000) bagi perusahaan yang gagal memenuhi ketentuan kuota satu persen
tersebut. Namun, seperti kenyataan sekarang ini, produk hukum belum tentu
menjamin implementasinya.
Meskipun Pemerintah telah menetapkan di dalam
Undang- Undang No. 4 tahun 1997 mengenai penyandang disabilitas, ketentuan
kuota 1 % yang mewajibkan perusahaan-perusahaan yang memiliki 100 orang
karyawan untuk mempekerjakan 1 orang penyandang disabilitas, namun karena
kurangnya kepedulian perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam memberikan
kesempatan kepada penyandang disabilitas, aturan tersebut hanya sekedar aturan
tertulis.
Perusahaan yang memberikan ruang bagi pekerja
disabilitas yaitu Carrefour. Jaringan toko Carrefour (PT Trans Retail
Indonesia) membuka lowongan kerja bagi tuna rungu. Penyandang disabilitas di
Carrefour akan bekerja sebagai kasir, cooking, pelayanan, administrasi, dan
lain-lain. Kami punya divisi tergantung kemampuan mereka”, ujar bagian HRD
Carrefour di Jakarta Selatan (8/10/2015).
Desakan akan RUU Penyandang Disabilitas semakin
menguat dengan adanya karnaval disabilitas pada tanggal 18 Agustus 2015 dari Bundaran
Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat pukul 09.30 WIB hingga ke Gedung DPR RI,
Jakarta. Mereka menyuarakan aspirasinya, bahwa perlu adanya regulasi baru yang
menjamin hak asasi penyandang disabilitas meski negara sudah memiliki UU No. 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Draft RUU tersebut, ada 26 hak penyandang disabilitas
Indonesia yang mengacu pada UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas antara lain hak akses informasi, hak atas
pekerjaan dan lapangan kerja, ha katas partisipasi dalam kehidupan berpolitik
dan hak atas statistik.
#tulisanku di Semai Edisi III/2015 "Penyandang Disabilitas"#
0 komentar:
Posting Komentar