Senin, 01 Februari 2016


Angkie, Minimnya Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas
Oleh: Melda Imanuela

“Bermimpilah setinggi langit dan jangan pernah lelah untuk terus berjuang dalam hidup ini. Keterbatasan bukan penghalang untuk bisa terus berkarya dan menjadi orang sukses”, ujar Angki Yudistia.
Angkie Yudistia merupakan salah satu perempuan tuna rungu yang menginspirasi karena berani melangkah dalam “ketidakmampuannya” untuk meraih mimpi serta harapannya. Perempuan difabel itu bermimpi bisa terus berkarya dan menjadi orang sukses walau memiliki keterbatasan.
Meski tunarungu, tak ada hambatan bagi Angkie untuk berkomunikasi dengan siapa saja. Angkie kehilangan pendengaran setelah bisa bicara. Saat berusia 10 tahun, pendengaran Angkie secara perlahan berkurang. Dia tidak lagi dapat merespons saat dipanggil dan kesulitan mendengar penjelasan guru di sekolah.
“Saya tidak tahu pasti penyebabnya. Apakah dari obat yang saya minum ketika sakit atau ada hal lain yang jadi penyebabnya,” ujar Angkie yang harus menggunakan alat bantu dengar sekaligus membaca gerak bibir untuk memahami pembicaraan lawan bicaranya.
Vonis tuna rungu dari dokter menjadi pukulan bagi Angkie, juga keluarganya. Terlebih lagi ibunya. “ Aku pernah ingin mencoba untuk bunuh diri karena merasa hidup ini telah berakhir  tetapi aku teringat akan ayah dan ibuku. Aku tahu mereka sedih meski tak pernah ia perlihatkan di depanku, sehingga keluargalah yang membuat  mental saya lebih tangguh”, ujar Angkie.
Angkie tidak diperlakukan berbeda oleh orangtuanya. Setidaknya untuk pilihan sekolah, Angkie menyelesaikan SD sampai SMA di sekolah umum. Pada masa-masa sekolah inilah Angkie mulai merasakan tantangan sebagai anak yang “berbeda”. Ledekan dari teman-teman bukan hal yang asing baginya. Belum lagi saat kena marah guru karena dia kesulitan mendengar. Ibunya mengajarkan Angkie untuk bisa mandiri dalam segala hal. Sewaktu sekolah, dia selalu naik kereta api dan sering terlambat datang ke sekolah dan ketinggalan kereta api karena tidak mendengar pemberitahuan dari asisten masinis. Namun, itu tidak membuatnya menjadi frustasi. Angkie malah terpacu untuk mencari solusi agar tidak lagi terlambat. Keluarga besarnya baik dari pihak bapak dan ibu Angkie berbaik hati dan tidak memandang Angkie sebuah aib. Mereka berusaha untuk tidak mengucilkan hati Angkie.
Angkie saat lulus SMA melanjutkan ke Perguruan Tinggi, tantangan membuatnya terus ingin membuktikan bahwa dia mampu. Maka mendaftarlah Angkie di Jurusan Periklanan London School of Public Relations (LSPR), Jakarta. Dia lulus dengan indeks prestasi komulatif (IPK) 3,5 lewat program akselerasi. Angkie kemudian melanjutkan program master (S2) di bidang komunikasi pemasaran.
Angkie paham, ia tidak bisa mengerem mulut orang untuk melontarkan perkataan yang menyakiti. Kesadaran ini menjadi bekalnya untuk menghadapi hari-hari yang sulit. Kalau ada ocehan yang tak berkenan di hatinya, Angkie membalasnya dengan baik. Pada usia remajanya, ia menganggap gangguan pendengaran sebagai bagian dari hidupnya. Satu per satu kelebihannya muncul dan membuat orang tak lagi terfokus pada kelemahannya. Di usia 21 tahun, perempuan yang amat tertolong dengan alat bantu dengar ini berhasil menjadi finalis None Jakarta mewakili wilayah Jakarta Barat. Pada tahun yang sama, dia juga terpilih sebagai The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008, serta Miss Congenially dari Natur-e, dan prestasi lainnya.
Angkie merasa sedih mengetahui masih banyak difabel yang belum bisa mengakses dunia luar. Beberapa diantaranya terisolir karena orang tua mereka masih menganggap anak difabel sebagai aib keluarga. Delegasi Indonesia di ajang Asia Pasific Center of Disability (Thailand) dan International Young Hard of Hearing (Paris, Perancis) ini mencoba membukakan pintu bagi mereka dengan meluncurkan biografinya di tahun 2011.
Buku Invaluable Experience to Pursue Dreams (Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas) memuat pengalaman Angkie menapaki pasang surut kehidupannya sebagai tuna rungu .
Angkie yang lahir pada tanggal 5 Juni 1987, pemilik tinggi 170 cm dan berat 53 kg itu pernah pula bekerja sebagai humas di beberapa perusahan misalnya bekerja di bagian marketing Communication IBM Indonesia dan Corporate Public Relation PT Geo Link Nusantara. “Saat melamar pekerjaan, saya mengalami puluhan kali penolakan karena penyandang tuna rungu. Alasannya tidak bisa menerima telepon”, ujarnya.
“Padahal, orang difabel mempunyai hak yang sama dengan yang fisiknya normal. Mereka juga sudah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tetap saja dianggap tak mampu apa-apa. Ditambah lagi kualifikasi perusahaan yang tidak berdasarkan pada latar belakang kemampuan penyandang disabilitas yang ada di Indonesia”, ujar Angkie.
“Pemberlakuan pemerintah terhadap kuota 1% bagi pekerja disabilitas di setiap perusahaan belum maksimal dan cenderung minim”, ujar Angkie.
Undang-Undang No. 4/1997 mengenai Penyandang Disabilitas, dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No.43/1998 (Upaya untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas) dan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan & Transmigrasi No.205/1995 merupakan payung hukum legal yang mengharuskan semua instansi untuk inklusif dalam penyelenggaraan kesempatan kerja.  Pasal 28 menjelaskan bahwa ada sanksi (sekitar USD 20,000) bagi perusahaan yang gagal memenuhi ketentuan kuota satu persen tersebut. Namun, seperti kenyataan sekarang ini, produk hukum belum tentu menjamin implementasinya.
Meskipun Pemerintah telah menetapkan di dalam Undang- Undang No. 4 tahun 1997 mengenai penyandang disabilitas, ketentuan kuota 1 % yang mewajibkan perusahaan-perusahaan yang memiliki 100 orang karyawan untuk mempekerjakan 1 orang penyandang disabilitas, namun karena kurangnya  kepedulian perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas, aturan tersebut hanya sekedar aturan tertulis.
Perusahaan yang memberikan ruang bagi pekerja disabilitas yaitu Carrefour. Jaringan toko Carrefour (PT Trans Retail Indonesia) membuka lowongan kerja bagi tuna rungu. Penyandang disabilitas di Carrefour akan bekerja sebagai kasir, cooking, pelayanan, administrasi, dan lain-lain. Kami punya divisi tergantung kemampuan mereka”, ujar bagian HRD Carrefour di Jakarta Selatan (8/10/2015).
Desakan akan RUU Penyandang Disabilitas semakin menguat dengan adanya karnaval disabilitas pada tanggal 18 Agustus 2015 dari Bundaran Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat pukul 09.30 WIB hingga ke Gedung DPR RI, Jakarta. Mereka menyuarakan aspirasinya, bahwa perlu adanya regulasi baru yang menjamin hak asasi penyandang disabilitas meski negara sudah memiliki UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Draft RUU  tersebut, ada 26 hak penyandang disabilitas Indonesia yang mengacu pada UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas antara lain hak akses informasi, hak atas pekerjaan dan lapangan kerja, ha katas partisipasi dalam kehidupan berpolitik dan hak atas statistik.


#tulisanku di Semai Edisi III/2015 "Penyandang Disabilitas"#


0 komentar:

Posting Komentar