Senin, 27 Maret 2017

Hentikan Perkawinan di Usia Anak 


Kongres Perempuan I 22-25 Desember 1928 yang dihadiri kurang lebih seribu orang dari berbagai organisasi perempuan, salah satu isu terkait hak-hak perempuan yang menjadi bahasan para founding mothers adalah pernikahan dini. Hampir delapan puluh delapan tahun kemudian setelah Kongres tersebut, atau lebih dari tujuh puluh tahun setelah Indonesia merdeka, persoalan pernikahan anak masih menghantui anak perempuan di Indonesia.

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perkawinan usia anak masih terus terjadi karena  ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat 1 yang membolehkan anak perempuan usia 16 tahun untuk dikawinkan. Batas usia minimum tersebut bahkan dapat lebih rendah dari yang disebut dalam UU (16 tahun untuk Perempuan, 19 tahun untuk Laki-laki) karena ayat berikutnya dari pasal yang sama juga memungkinkan adanya dispensasi melalui Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Menurut Data BPS (Badan Pusat Statistik sepanjang tahun 2014 terdapat 911.644 perkawinan anak yang tercatat. Namun fakta menunjukkan jumlah perkawinan di usia anak yang tidak tercatat jauh lebih banyak dari pada jumlah perkawinan di usia anak yang tercatat.  Perkawinan di usia anak merupakan fenomena gunung es.
Praktek perkawinan anak tidak memberikan manfaat apapun bagi anak. Sebaliknya, sejumlah dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak sebagai akibat dari perkawinan anak seperti:
  • Tidak dapat menikmati hak Anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang, dan hak untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi
  • Tidak dapat melanjutkan pendidikan
  • Menjalani aktifitas seksual di usia sangat muda, yang akan berpengaruh negatif pada perkembangan mental anak
  • Rentan mengalami kekerasan
  • Dipaksa menerima dan menjalani tanggung jawab yang sangat berat bagi usia anak


Selain itu, perkawinan di usia anak yang berlanjut dengan kehamilan pada usia anak juga berdampak buruk dari sisi kesehatan karena beberapa alasan seperti:

- Kehamilan di usia anak, berpeluang 4,5 kali menjadi kehamilan berisiko tinggi
- Perdarahan berpeluang  3 kali lebih terjadi
- Kerusakan otak janin dan gangguan tumbuh kembang bayu akibat ibu kekurangan yodium 
- Ukuran Panggul ibu yang tidak seimbang dengan ukuran kepala bayi
- Kontraksi bayi dalam kandungan tidak optimal
- Bayi lahir dangan berat badan rendah (di bawah 2.500 gram)  dan baduta (stunting) 
- Kelahiran Premature
- Risiko kematian lebih besar

Mengingat hal-hal tersebut di atas dan masih banyak dampak negatif lain yang dapat ditimbulkan akibat praktek perkawinan anak, Perlu menambahkan argumentasi mengapa sekolah menjadi penting? Sekolah sebagai institusi pendidikan, dan guru sebagai pendidik untuk menghentikan perkawinan anak. Termasuk mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang melarang perkawinan anak. 

Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia dengan berbagai latarbelakang. Telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual. 

Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan keterlantaran. 

Agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG's) adalah sebuah rencana aksi global untuk mewujudkan kemakmuran bersama, perdamaian dan penghargaan pada kebebasan. 193 Kepala negara dan pemerintahan, termasuk Indonesia, menandatangani agenda ini dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung di New York, 25 September 2015 lalu. Prinsip yang digunakan "No One Leave Behind", agenda ini mensyaratkan semua lapisan masyarakat tidak ada yang ditinggalkan maupun meninggalkan dalam proses pembangunan yang inklusif dan partisipatif . Agenda 2030 memiliki 17 tujuan, 169 sasaran dan lebih dari 234 indikator. Tujuan (Goals) 1 : Menghapus Kemiskinan, Tujuan (Goals) 3: Kesehatan yang baik dam kesejahtera, Tujuan (Goals) 4 : Pendidikan Bermutu dan Tujuan (Goals) 5 : Kesetaran Gender menjadi penting meskipun yang tujuan  yang juga sama-sama penting. Namun ini selaras dengan menghentikan perkawinan anak perempuan dalam mencegah kekerasan berbasis gender, kemiskinan dan meningkatkan kesejahteran yang inklusi dan adil gender. 


Kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat serta ekonomi menjadi beberapa alasan yang mendasari perkawinan anak masih terjadi. Selain itu, peraturan atau hukum nasional di Indonesia masih belum harmonis, artinya, peraturan yang satu belum sesuai dengan peraturan lainnya. Salah satunya terkait umur minimum kawin bagi perempuan, di Pasal 7 UU No.1/1974 bahwa batas minimum usia kawin bagi perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. 

Padahal di UU No.35/2014 Pasal 1 menyebutkan bahwa anak adalah setia orang yang berusia di bawah 18 tahun dan di Pasal 26 menyebutkan bahwa orang tua wajib mencegah terjadinya perkawinan di usia anak.

Upaya masyarakat sipil dalam rangka menghapuskan perkawinan anak sudah dilakukan sejak tahun 1980an, namun penurunan angka perkawinan anak belum terjadi secara signifikan. Kajian hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk usulan perubahan UU No.1/1974 tentang Perkawinan dengan melakukan  Judicial Review ke Mahkamah Konstitus dan upaya-upaya penyadaran masyarakat akan dampak perkawinan di usia anak pada kesehatan reproduksi seksual dan termasuk pada perkembangan jiwa anak terus dilakukan.

Gambaran yang ada saat ini menunjukkan bahwa persoalan perkawinan di usia anak di Indonesia sangat tinggi dan menjadi persoalan yang harus segera ditangani.

Perlu kita sadari bahwa "Keberhasilan kita menurunkan jumlah kasus perkawinan anak merupakan faktor signifikan dalam memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia".Sehingga menjadi penting Menaikkan usia 16 tahun menjadi 18 tahun pernikahan bagi perempuan mencegah kekerasan berbasis gender di Indonesia.

Penghentian perkawinan anak akan memberikan kesempatan pada anak-anak untuk mengenyam pendidikan lebih lama, memampukan mereka mengakses kesempatan kerja yang lebih baik, meningkatkan standar hidup layaknya, serta membuat anak-anak memiliki angka harapan hidup lebih panjang. 


0 komentar:

Posting Komentar